Bukan Korupsi, Tapi Salah Sasaran: Saat Kejari Aceh Timur Menyusun Konstruksi Hukum Tanpa Akal Sehat

banner 468x60

MediaSuaraMabes, Aceh – Publik Aceh dikejutkan oleh pengumuman Kejaksaan Negeri Aceh Timur yang menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Gudang Arsip UPTD Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2022. Dua nama itu adalah BH (pejabat struktural) dan Mahdi Amin, selaku penyedia jasa konstruksi (kontraktor pelaksana).

Yang membingungkan publik adalah: proyek ini selesai pada akhir tahun 2022, dan gedungnya saat ini difungsikan oleh instansi terkait. Bangunan berdiri, digunakan, tidak mangkrak. Maka pertanyaannya, apa dasar hukum untuk menyebut ini sebagai kerugian negara?

Opini ini sengaja ditulis untuk menjadi pengetahuan bagi masyarakat luas, agar tidak terjebak dalam narasi sepihak yang kerap dibungkus jargon “pemberantasan korupsi”.

Kami ingin publik memahami bahwa tidak semua perkara proyek bisa diseret ke ranah pidana, apalagi jika tidak ada kerugian nyata dan pekerjaan telah tuntas sesuai kontrak.

Lebih mengherankan lagi, tuduhan ini bersandar pada hasil audit dari Inspektorat Kabupaten Aceh Timur, yang disusun tanpa prosedur yang transparan, tidak jelas siapa tenaga ahli yang melakukan penilaian fisik, dan tidak pernah ada pemeriksaan ulang bersama penyedia di lokasi. Bahkan sampai hari ini, tidak pernah dijelaskan kepada publik bagaimana metodologi penilaian bangunan itu dilakukan, dan apakah melibatkan uji teknis sebagaimana lazimnya dalam audit konstruksi.

Jika dasar hukum dibangun di atas audit yang tidak dapat diuji secara terbuka, tanpa akuntabilitas profesi, dan tanpa konfirmasi lapangan kepada penyedia, maka dakwaan korupsi ini bukanlah penegakan hukum — tapi perburuan kambing hitam.

I. Fakta Proyek dan Anggaran

• Nama Pekerjaan : Pembangunan Gudang Arsip UPTD Aceh Timur
• Nilai Kontrak : Rp.1.762.208.000
• Sumber Dana: Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2022
• Instansi Teknis : Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Provinsi Aceh
• Lokasi Proyek : Aceh Timur

II. Klaim Kerugian Negara: Audit Bermasalah

Penetapan tersangka ini berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dikeluarkan oleh Inspektorat Kabupaten Aceh Timur, melalui dokumen Nomor: 021/ITDAKAB–LHAPKKN/2024 tertanggal 30 Desember 2024, yang menyebut adanya kerugian sebesar Rp.298.419.319,46.

Padahal, audit ini:

• Dilakukan hampir dua tahun setelah pekerjaan selesai;
• Tidak dilakukan oleh BPKP atau lembaga audit investigatif;
• Menyimpulkan kerugian dengan cara membandingkan nilai bangunan pada akhir 2024, ketika bangunan sudah dipakai dan mengalami defiasi teknis alami.

Siapa yang Berwenang Melakukan Audit Kerugian Negara dalam Perkara Korupsi?

Dalam konteks hukum acara pidana, khususnya tindak pidana korupsi, kerugian keuangan negara tidak cukup hanya didasarkan pada klaim administratif. Harus ada perhitungan yang sah secara hukum, dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan sesuai undang-undang.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, dan dikuatkan oleh berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung, dinyatakan bahwa:

“Kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus berdasarkan hasil audit dari lembaga yang berwenang, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).”

Dengan demikian:

• Inspektorat Daerah bukan lembaga audit investigatif, melainkan hanya menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan internal pemerintah daerah.

• Audit yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Aceh Timur tidak memiliki kekuatan hukum untuk menyimpulkan adanya kerugian negara dalam konteks pidana.

Apalagi jika audit tersebut tidak disertai peninjauan lapangan bersama penyedia, tidak melibatkan tim ahli yang memiliki Sertifikat Penilai (SPI) yang ditunjuk oleh LPJK, dan dilakukan hampir dua tahun setelah pekerjaan selesai dan difungsikan.

Maka kesimpulan angka kerugian negara sebesar Rp.298.419.319,46, yang dijadikan dasar penetapan tersangka dalam kasus ini, tidak hanya bermasalah dari sisi metodologi, tetapi juga cacat secara hukum.

III. Mahdi sebagai Penyedia: Bangunan Selesai, Difungsikan, dan Tidak Bisa Disebut Gagal

Mahdi Amin adalah penyedia jasa konstruksi, pelaksana proyek pembangunan Gudang Arsip UPTD Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2022. Ia:

• Menandatangani kontrak pelaksanaan konstruksi sesuai prosedur;
• Mengerjakan proyek berdasarkan gambar teknis dan jadwal yang disepakati;
• Menyelesaikan pekerjaan hingga dilakukan serah terima pada akhir tahun 2022.

Proyek tersebut telah selesai secara fisik dan administratif, serta telah difungsikan oleh instansi yang menerima. Gedung digunakan sebagai arsip, berdiri utuh, dan tidak mengalami kerusakan struktural. Maka, secara hukum dan logika, tidak ada alasan menyebut proyek ini sebagai mangkrak, fiktif, atau merugikan negara.

Pasal 55 ayat (1) huruf b UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa:

“Pengguna jasa wajib menerima hasil pekerjaan konstruksi yang telah diselesaikan oleh penyedia jasa sesuai dengan ketentuan kontrak kerja konstruksi.”

Artinya, ketika proyek telah diselesaikan dan diserahterimakan (PHO/FHO), serta difungsikan oleh negara, maka kewajiban Mahdi sebagai penyedia telah terpenuhi secara hukum.

Lebih jauh lagi, tuduhan kerugian negara yang disandarkan pada dugaan kualitas bangunan yang “tidak setara” atau “tidak sesuai nilai kontrak” harus diuji berdasarkan hukum konstruksi, bukan asumsi subjektif.

Pasal 1 angka 10 UU Jasa Konstruksi menegaskan bahwa:
“Gagal bangunan adalah keadaan bangunan konstruksi yang tidak dapat berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan masa layanannya.”

Dan jika ada dugaan kegagalan bangunan, Pasal 53 UU Jasa Konstruksi mengatur bahwa:

“Penyebab dan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan harus ditetapkan oleh penyelidikan ahli.”

Namun dalam kasus Mahdi, tidak ada penyelidikan ahli independen yang memiliki Sertifikat Penilai Ahli (SPI) dan ditugaskan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagaimana mestinya. Tidak ada pemeriksaan bersama, tidak ada audit teknis bersertifikasi, dan tidak ada uji volume bersama penyedia di lapangan.

Maka seluruh tuduhan yang diarahkan kepada penyedia tidak berdasar secara teknis, tidak memenuhi syarat prosedural, dan secara nyata melanggar ketentuan UU Jasa Konstruksi.

IV. PPTK Bukan Penentu Anggaran: Tupoksi Terbatas, Tapi Diposisikan Sebagai Tersangka

Salah satu pihak lain yang turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Gudang Arsip UPTD Aceh Timur adalah BH, yang diketahui menjabat sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam proyek tersebut. Penetapan ini memunculkan pertanyaan besar: apa dasar hukum menjerat PPTK, sementara ia bukan pengambil keputusan keuangan?

Tugas dan Fungsi PPTK dalam Sistem Keuangan Daerah

Berdasarkan:
• Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah:

Pasal 11 ayat (2):

“PPTK bertugas membantu PPK dalam pelaksanaan kegiatan serta bertanggung jawab secara administratif terhadap pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rincian APBD.”

Pasal 12 ayat (2):

“PPTK menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan kegiatan yang ditetapkan.”

Makna dan Batasan Kewenangan PPTK:

1. PPTK adalah pelaksana teknis administerasi, bukan pejabat strategis.
2. Tugasnya hanya:
o Menyusun dokumen teknis kegiatan,
o Mengumpulkan data realisasi,
o Menyusun laporan progres fisik dan keuangan.
3. PPTK tidak memiliki kewenangan:
o Menandatangani kontrak,
o Mengotorisasi pembayaran,
o Menyatakan pekerjaan selesai,
o Menyetujui pencairan dana.

Semua keputusan strategis ada di tangan PA (Pengguna Anggaran) dan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran).

Kedudukan Hukum PPTK dalam Kasus Korupsi

Berdasarkan struktur tugas tersebut, menjerat PPTK dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor adalah bentuk pemaksaan hukum.

Pasal-pasal itu mensyaratkan adanya:

• Penyalahgunaan wewenang, dan
• Perbuatan melawan hukum, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Tapi dalam konteks ini:

• PPTK tidak punya wewenang untuk menyalahgunakan;
• Ia hanya menjalankan tugas teknis sesuai perintah atasan;
• Tidak ada bukti bahwa ia memperkaya diri sendiri atau orang lain;
• Dan proyek pun selesai dan difungsikan.
Maka tuduhan terhadap PPTK menjadi sangat lemah — ia tidak punya kuasa, tapi dibebani pertanggungjawaban yang bukan miliknya.

Analogi Kasus:

Menjadikan PPTK sebagai tersangka korupsi sama dengan menuduh petugas administrasi bersalah karena mengetik laporan kegiatan yang disetujui dan ditandatangani oleh atasannya. Ini bentuk kriminalisasi jabatan struktural bawah yang tidak punya kontrol terhadap alur uang negara.

V. Mengapa PA, KPA, dan Konsultan Pengawas Tidak Ditetapkan sebagai Tersangka?

Jika perkara ini dikonstruksi secara adil dan bertanggung jawab, maka aktor utama yang paling layak untuk dimintai pertanggungjawaban hukum adalah mereka yang mengendalikan keuangan negara secara formal dan struktural. Mereka adalah:

• PA (Pengguna Anggaran)
• KPA (Kuasa Pengguna Anggaran)

Merekalah yang:

• Merancang dan menandatangani kontrak kerja konstruksi;
• Menyetujui pencairan dana melalui dokumen SPM dan SP2D;
• Menyetujui MC, PHO, dan dokumen termin pembayaran;
• Bertanggung jawab langsung atas output, anggaran, dan legalitas kegiatan menurut sistem keuangan daerah.

Maka bila ada dugaan kerugian negara karena pekerjaan tidak sesuai nilai kontrak, penanggung jawab utama secara hukum adalah pihak yang menyusun kontrak, menyetujui pembayaran, dan mengesahkan laporan keuangan negara.

Posisi Keperdataan: Mereka adalah Pihak dalam Kontrak

• Dalam hukum perdata, kontrak hanya mengikat para pihak yang menandatangani.
• PA/KPA adalah subjek hukum dalam kontrak konstruksi, bukan PPTK, bukan penyedia satu-satunya.
• Artinya: kesalahan konstruksi dalam hubungan kontraktual, baik volume, termin, atau progres, sepenuhnya berada dalam lingkup tanggung jawab para pihak kontraktual utama.

Posisi Pidana: Mereka Pemegang Kunci Keuangan Negara

• PA adalah penguasa anggaran (budget holder);
• KPA bertindak atas nama PA dalam pelaksanaan teknis anggaran dan bertanggung jawab penuh atas sah tidaknya pelaksanaan kontrak;

ika proyek ini dianggap menyebabkan kerugian negara, maka:

• Pihak yang menyetujui pencairan tanpa dasar sah adalah pelaku utama;
• Menjerat penyedia dan PPTK saja, tanpa menyentuh mereka, adalah bentuk pengalihan tanggung jawab yang melawan prinsip pertanggungjawaban berjenjang dalam hukum keuangan negara.

VI. Konsultan Pengawas: Profesional yang Tidak Netral, Tapi Tak Tersentuh
Dalam proyek pembangunan Gudang Arsip UPTD Aceh Timur Tahun Anggaran 2022, konsultan pengawas adalah pihak yang ditunjuk melalui kontrak pengawasan terpisah, dan bertugas untuk:

• Memantau mutu dan progres fisik di lapangan;
• Menyusun laporan bulanan (MC) sebagai dasar pembayaran;
• Mengusulkan penerbitan berita acara serah terima pekerjaan (PHO/FHO).

Fungsi mereka bukan sekadar mencatat, tetapi menyatakan bahwa volume pekerjaan telah terpenuhi sesuai spesifikasi teknis dan waktu pelaksanaan.

Dalam Konteks Perdata: Ada Indikasi Wanprestasi

• Jika benar hasil audit menyebut bahwa terdapat kekurangan volume atau spesifikasi teknis, maka pihak pertama yang secara teknis wajib bertanggung jawab adalah konsultan pengawas.
• Mengapa? Karena laporan mereka menjadi dasar sah pembayaran termin 100%.

Maka, dalam logika kontrak pengawasan, mereka seharusnya:

• Menolak memberikan MC 100% jika pekerjaan belum selesai,
• Tidak menyetujui PHO jika mutu pekerjaan tidak terpenuhi.

Jika tetap melakukannya, maka mereka telah wanprestasi terhadap kontrak pengawasan, dan dapat digugat secara perdata oleh instansi pemberi kerja.

Dalam Konteks Pidana: Dasar Penyertaan dan Pembiaran Aktif

Lebih serius lagi, laporan pengawasan yang disusun dan ditandatangani oleh konsultan pengawas berfungsi sebagai legitimasi pembayaran uang negara kepada penyedia. Maka, jika laporan tersebut ternyata tidak sesuai kondisi riil, mereka dapat dianggap turut serta menyebabkan kerugian keuangan negara.

Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jika seseorang:

• Memberikan dokumen yang menyebabkan kerugian negara,
• Mengetahui ketidaksesuaian pekerjaan,
• Tetapi tetap menyatakan “100% selesai”,

Maka ia bisa dikenai pidana sebagai pelaku penyerta (deelneming).

Jika dilakukan dengan kesadaran atau kesepakatan dengan pejabat tertentu, maka masuk dalam konstruksi Pasal 3 UU Tipikor:
“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya…”

Fakta Ironis: Tidak Diperiksa, Tidak Tersentuh

Dalam kasus ini:

• Tidak ada satu pun konsultan pengawas yang dimintai pertanggungjawaban;
• Padahal mereka menandatangani dokumen MC dan PHO yang menjadi dasar pembayaran penuh;
• Bahkan tidak jelas apakah mereka hadir dalam audit lapangan, atau dimintai klarifikasi atas laporan yang mereka keluarkan.

Maka pertanyaannya: apakah laporan pengawasan yang mereka buat benar-benar diverifikasi?

Jika ternyata volume pekerjaan tidak sesuai, bagaimana laporan itu bisa lolos? Dan kenapa yang bertanggung jawab justru penyedia dan PPTK, bukan pengawasnya?

Kesimpulan:

Dalam proyek Gedung Arsip UPTD Aceh Timur, konsultan pengawas memegang peran strategis yang seharusnya berada di garda terdepan pertanggungjawaban teknis.

Ketika bangunan disebut “tidak sesuai” namun pengawasan menyatakan 100% selesai, maka indikasi kelalaian atau rekayasa dokumen teknis harusnya diarahkan ke mereka lebih dahulu.

Tapi karena status mereka bukan ASN, bukan pejabat negara, dan tidak punya posisi struktural — mereka lolos dari radar hukum.

Yang dikorbankan adalah penyedia dan PPTK yang hanya menindaklanjuti dokumen resmi yang sudah “disahkan oleh pengawas.”

VII. Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor: Dipaksakan dan Salah Sasaran

Penetapan Mahdi sebagai penyedia dan BH sebagai PPTK berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, merupakan bentuk penerapan hukum yang menyimpang, lemah dasar, dan cacat pertanggungjawaban.

1. Unsur melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang tidak terpenuhi:

• Mahdi dan BH tidak memiliki otoritas pengendali anggaran atau kekuasaan menentukan pembayaran;
• Mereka bekerja berdasarkan dokumen sah: kontrak, RAB, berita acara, dan laporan pengawasan;
• Mereka bukan pihak yang menyusun atau menyetujui MC, PHO, dan pencairan dana.
2. Kerugian negara tidak dibuktikan secara sah

• Audit dilakukan oleh Inspektorat, bukan BPK/BPKP;
• Tidak ada keterlibatan ahli bersertifikat SPI dari LPJK;
• Tidak dilakukan uji lapangan bersama penyedia;
• Audit dilakukan hampir dua tahun setelah bangunan selesai dan difungsikan.

3. Tidak ada unsur memperkaya diri atau orang lain

• Tidak terbukti Mahdi maupun BH menerima keuntungan pribadi;
• Uang negara dibayarkan berdasarkan laporan sah oleh konsultan pengawas dan disetujui oleh PA dan KPA.

4. Pasal 55 KUHP salah sasaran

• Pasal ini berlaku jika ada pelaku utama;
• Tapi justru pelaku utama (PA/KPA/PPK/Pengawas) tidak disentuh sama sekali.

Ketimpangan Hukum: Aktor Utama Tidak Disentuh

Sementara penyedia dan PPTK dijadikan tersangka, yang menyusun kontrak, mengendalikan alur anggaran, menyetujui pembayaran, dan menandatangani pencairan, tidak dijadikan tersangka.

Padahal:

• PA dan KPA menandatangani kontrak, SPK, PHO, dan SPM/SP2D;

• Konsultan Pengawas menandatangani laporan MC dan progres 100% yang menjadi dasar pencairan penuh.

Kalau dokumen yang mereka tanda tangani ternyata tidak benar, maka logikanya merekalah yang harus dimintai pertanggungjawaban lebih dahulu.

Penutup

Jika penegakan hukum hanya menyentuh penyedia dan PPTK — pihak yang paling lemah secara struktural — sementara PA, KPA, dan Konsultan Pengawas dibiarkan bebas, maka proses hukum ini bukanlah pencarian keadilan, melainkan manipulasi hukum untuk melindungi aktor sistemik dan mengorbankan pihak teknis.

VIII. Kejaksaan Negeri Aceh Timur: Penegak Hukum atau Pengalih Tanggung Jawab?

Lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dalam kasus ini justru tampil sebagai aktor utama dalam pembelokan logika hukum.

Kejaksaan Negeri Aceh Timur menetapkan dua tersangka: penyedia (Mahdi) dan PPTK, tanpa menelusuri secara serius struktur kewenangan dalam proyek negara. Ini bukan hanya kesalahan teknis penyidikan — ini adalah kelalaian sistematis yang menciptakan kriminalisasi.

Kejaksaan seharusnya tahu:

• Bahwa kerugian negara harus berdasarkan audit BPK/BPKP;
• Bahwa PPTK tidak punya kewenangan strategis atas anggaran;
• Bahwa pembayaran proyek tidak mungkin cair tanpa validasi PA/KPA, dan pengawas;
• Bahwa proyek selesai dan sudah difungsikan.

Namun seluruh fakta itu diabaikan. Yang ditangkap adalah yang paling lemah secara struktur — bukan yang paling bertanggung jawab secara yuridis.

Kesimpulan Kritis:

Jika aparat penegak hukum mengabaikan logika hukum, mengabaikan asas proporsionalitas, dan membiarkan aktor pengendali sistem lolos, maka kita tidak sedang menyaksikan penegakan hukum, melainkan sandiwara keadilan yang dikemas untuk kepentingan tertentu.

Maka yang tersisa hari ini bukan keadilan, tapi rekayasa hukum yang dijalankan oleh negara terhadap warganya sendiri.

Dan jika ini dibiarkan, maka siapa pun bisa menjadi korban berikutnya — bukan karena berbuat salah, tapi karena tidak cukup kuat untuk melawan sistem.

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *