MediaSuaraMabes, Barito Utara – Dengan hadirnya sebuah investasi tambang batubara PT. Nusa Persada Resources (NPR) yang baru beberapa bulan terakhir beroperasi di wilayah Desa Karendan Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, atau tepatnya diperbatasan Kalteng-Kaltim yang hasil galian tambangnya diangkut ke Kalimantan Timur, kini semakin hari berganti bulan sangat meresahkan warga pemilik/pengelola lahan sekitar akibat Menejemen konflik yang diciptakan baik antara sesama masyarakat bahkan dengan oknum aparat berwenang yang dimanfaatkan untuk mengintervensi, mengintimidasi bahkan upaya kriminalisasi sebagaimana proses beberapa orang petani atau peladang pada lokasi yang sudah memiliki rumah pemukiman serta kebun diatas lahan mereka saat ini sudah ada beberapa orang yang sedang dalam proses pemeriksaan di Mapolres Barito Utara yang dilaporkan PT. NPR dengan laporan perambahan hutan. Pertanyaannya “Apa mungkin setelah lahan mereka dirampas lalu mereka dipenjarakan…?
Salah satu warga, Heri, tak tinggal diam. Ia mengadukan kasus ini ke Mapolda Kalimantan Tengah dengan mempertanyakan dasar laporan tersebut.
“Kami jauh lebih dulu di sini. Sebelum NPR datang, kami sudah garap lahan itu turun-temurun. Sekarang malah dituduh merambah hutan,” tegas Heri Kepada media ini, Selasa (17/06/2025).
Lebih mengejutkan, dalam rekaman suara yang disimpan warga, seorang bernama Hirung, diduga bagian dari manajemen PT. NPR, menyatakan bahwa langkah mereka dilakukan atas arahan langsung oknum Polres Barito Utara.
Hal ini memicu kekhawatiran publik akan dugaan keterlibatan oknum aparat dalam membungkam warga dan pemberian suap terhadap 2 oknum kepala desa senilai 4,75 Miliar serta pernyataan itu dinilai warga sebagai bentuk intimidasi dan pelecehan terhadap hak masyarakat adat yang sedang memperjuangkan tanah ulayatnya.
Sebagaimana diketahui bahwa proses pemberian tali asih juga dilakukan secara diam-diam di dalam ruang kerja Polres Barito Utara, tanpa pelibatan warga sebagai pemilik sah ladang. Warga menyebut nama-nama seperti HR, AS, dan AN sebagai oknum manajemen PT. NPR yang melyalurkan dana tersebut dalam terindikasi selaku pemberi suap
Kami menuding bahwa pihak perusahaan menerapkan strategi pecah belah (divide et impera) dengan mendekati masyarakat satu per satu dan mendorong konflik horizontal antarsesama warga adat.
Tujuannya diduga untuk memudahkan pengambilalihan lahan tanpa perlawanan kolektif.
“Kami dikriminalisasi, diadu domba, dan dipaksa menerima tali asih yang tidak adil. Ini bukan musyawarah, ini penyerobotan!” ungkap Hery
“Yang digarap lahan warga, lalu kepala desa yang menerima uang 4,75 Milyar, karena kami protes hak kami dirampas masa kami yang dipenjarakan …? Tutup Hery (Ron)