Skandal Panitera PN Banda Aceh Menguak: Kaspendi & Jaringan Gelap Perusak Marwah Syariat

banner 468x60

MediaSuaraMabes, Banda Aceh – Dugaan praktik intimidasi, pemerasan, dan kolusi di tubuh Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh menyeruak ke publik. Dua advokat, Jalaluddin Moebin, S.H. dan Najmuddin, S.H., disebut bekerja sama dengan Panitera PN Banda Aceh, Kaspendi Sembiring, S.H., dalam skema teror terhadap Marlawiyah, pemilik sah tanah dan toko di Banda Aceh.

Temuan investigatif itu diungkap Media Suara Mabes Wilayah Aceh dalam surat resmi bernomor 054/MSM-WILAYAH ACEH/VIII/2025 tertanggal 20 Agustus 2025. Disebutkan bahwa sejak akhir 2024 hingga pertengahan 2025, Marlawiyah berulang kali ditekan melalui pertemuan nonformal, narasi eksekusi tanpa dasar hukum, hingga permintaan uang bernilai fantastis.

Warung Kopi Jadi Ajang Pemerasan

Pada 22 Oktober 2024, pertemuan di sebuah warung kopi dekat Stadion H. Dimurtala, Banda Aceh, yang dikondisikan kuasa hukum lama, menjadi titik awal. Dalam forum itu, Panitera PN diduga meminta uang Rp680 juta agar rencana eksekusi toko Marlawiyah tidak dijalankan.

Namun, ketika Marlawiyah menyampaikan keberatan, permintaan justru dinaikkan menjadi Rp1 miliar. Bahkan, Panitera melontarkan kalimat intimidatif:

“Kalian itu cuma pura-pura nggak sanggup bayar!”

Saat Marlawiyah menegaskan bahwa toko tersebut sah miliknya dan telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), Panitera merespons sinis:

“Sertifikat itu bukan jaminan! Satu toko bisa dibuat sertifikat untuk sepuluh orang!”

Media Suara Mabes menilai ucapan itu menyesatkan secara hukum, karena SHM adalah bukti otentik dan alat pembuktian sah sesuai Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Mediasi atau Tekanan Terselubung?

Pada 24 April 2025, sebuah forum di ruang Ketua PN Banda Aceh, Dr. Teuku Syarafi, S.H., M.H., digelar dengan label “mediasi”. Namun sejak awal forum ini janggal: tidak ada undangan resmi, dan Pemohon sebagai pihak utama tidak hadir. Padahal esensi mediasi seharusnya mempertemukan kedua belah pihak secara formal dan seimbang.
Dalam forum tersebut, Ketua PN memang menyebut pengadilan wajib melaksanakan eksekusi berdasarkan perintah Mahkamah Agung. Akan tetapi, ia menambahkan opsi perdamaian sebagai jalan yang dianggap lebih baik, lalu mempersilakan Panitera menyampaikan angka penawaran.

Anehnya, Rp4 miliar untuk tiga unit toko justru keluar dari mulut Panitera Kaspendi, bukan dari Pemohon, dan tidak pernah tercatat dalam dokumen resmi. Diduga angka ini hasil komunikasi gelap antara Panitera dan Ketua PN yang diproyeksikan sebagai “harga damai”.

Situasi makin ganjil ketika Ketua PN mengaku sudah ditegur dan diperiksa karena lamanya perkara ini. Ia menyatakan eksekusi harus jalan, tetapi “jika ada perdamaian bisa dipertimbangkan.” Narasi ini mempertegas bahwa forum tersebut hanyalah sarana tekanan psikologis, bukan mediasi sah.

Ironisnya, Dr. Teuku Syarafi, S.H., M.H., selaku Ketua PN Banda Aceh yang merupakan orang Aceh sendiri, justru memainkan peran dalam forum penuh kejanggalan tersebut. Bukannya menjadi benteng keadilan bagi masyarakat, perannya justru dinilai ikut memperkuat tekanan terhadap Marlawiyah melalui pola intimidasi yang dipimpin Panitera.

Narasi Eksekusi Tanpa Dasar Prosedural

Pasca forum 24 April, Panitera beberapa kali menyatakan eksekusi akan dilakukan pada Juni 2025. Pernyataan sepihak itu tidak dituangkan dalam penetapan resmi Ketua PN, tidak ada berita acara aanmaning, dan tidak ada pemberitahuan hukum sah.

Lebih parah, narasi eksekusi disampaikan secara lisan kepada penghuni dan penyewa toko. Padahal, hukum acara perdata mengharuskan eksekusi melalui tahapan formil: aanmaning ulang, penetapan Ketua PN, dan pemberitahuan resmi juru sita.

Pola ini dinilai bukan langkah administratif, melainkan strategi “teror mental” untuk menciptakan kepanikan dan menekan Marlawiyah agar tunduk pada skema damai bernuansa sogokan yang dibangun Panitera bersama jaringan kuasa hukum lama.

Indikasi Kolusi

“Skema ini jelas memperlihatkan pola persekongkolan antara kuasa hukum lama dengan Panitera PN untuk menakut-nakuti dan menekan Marlawiyah. Narasi eksekusi yang disampaikan secara informal hanya menimbulkan teror mental,” tulis Media Suara Mabes dalam surat klarifikasinya.

Selain itu, Media Suara Mabes juga menyinggung adanya dugaan penawaran “surat non-eksekutabel” senilai Rp300 juta oleh Jalaluddin Moebin, S.H. Penawaran ini disebut dilakukan dengan sepengetahuan pejabat pengadilan, sehingga memperkuat indikasi adanya kolusi terstruktur.

Lebih jauh, sumber lain menyebut bahwa untuk melancarkan kemauannya, Kaspendi tidak segan mencari pengacara-pengacara yang bersedia melakukan praktik kotor. Nama Jalaluddin Moebin, S.H. dan Najmuddin, S.H. kerap disebut sebagai contoh nyata pengacara yang dipakai Kaspendi dalam menjalankan manuver buruknya.

Sumber Internal: “Kami Tak Bisa Menolak”

Informasi ini diperkuat oleh pengakuan dari seorang sumber internal PN Banda Aceh yang identitasnya enggan dipublikasikan. Ia menyebutkan bahwa kemauan Panitera Kaspendi Sembiring seringkali harus dipatuhi meskipun bertentangan dengan aturan maupun etika.

“Kemauan Kaspendi harus dituruti biarpun menyalahi secara aturan maupun etika, kami tidak bisa berbuat apa-apa kalau sudah diperintah,” ujar sumber internal PN Banda Aceh.

Dinilai Merusak Marwah Aceh

Sejumlah tokoh sipil di Aceh menilai perilaku itu tidak sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga meruntuhkan nilai keislaman yang menjadi fondasi masyarakat Aceh.
“Kaspendi Sembiring telah merusak nilai-nilai keislaman di Aceh dengan cara merusak tatanan yang sudah ada. Jabatan seharusnya menjadi amanah, bukan alat menakut-nakuti rakyat,” ujar salah satu pengamat hukum syariat.

Dalam konteks Aceh yang menjalankan Syariat Islam, setiap pejabat negara dituntut menjaga keadilan, amanah, dan transparansi. Perilaku dugaan intimidasi dan pemerasan justru bertolak belakang dengan prinsip keadilan Islam yang mengutamakan al-‘adl (keadilan) dan amanah (kepercayaan).

“Kaspendi yang berasal dari luar Aceh seharusnya menghormati nilai-nilai Islami ketika bertugas di daerah ini. Kalau memang tidak bisa menghormati syariat, sebaiknya jangan bertugas di Aceh. Jangan merusak tatanan masyarakat dengan praktik yang bertolak belakang dengan keadilan Islami — silakan ditempatkan di tempat lain jika ingin melakukan cara-cara yang merusak marwah peradilan,” tambah pengamat tersebut.

Penutup

Permasalahan yang dialami Marlawiyah hanyalah satu contoh dari bobroknya wajah peradilan di PN Banda Aceh. Apa yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan, justru berubah menjadi ladang transaksi gelap.

Transaksi-transaksi semacam ini bukanlah hal baru. Ketika uang sudah menjadi ukuran, maka hukum bisa diperdagangkan, dan rasa takut kepada Tuhan pun lenyap. Inilah yang membuat praktik jual beli keadilan subur, dan melahirkan apa yang disebut masyarakat sebagai mafia peradilan.

Masyarakat Aceh patut waspada. Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka marwah syariat yang menjadi dasar hukum di Aceh akan terus dilecehkan. Apalagi jika berhubungan dengan Panitera Kaspendi Sembiring beserta jaringannya, bukannya perlindungan hukum yang didapat, justru teror mental dan penghancuran kepercayaan pada lembaga peradilan. (Hanafiah)

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *