MediaSuaraMabes, Bukittinggi – Museum Tridaya Eka Dharma menjadi saksi bisu dari gelaran akbar “Serial Dialog Kebangsaan #Seri 2” yang bertajuk “Sarasehan Pemuda: Mengaktualisasikan Spirit Sumpah Pemuda di Era Digital”.
Acara merupakan kolaborasi antara Warung DKI Museum Perjuangan, Rumah Bela Negara, Flipper’s Organization, dan Radio Republik Indonesia Bukittinggi menghadirkan sejumlah tokoh inspiratif dan diikuti tokoh, akademisi, pelajar dan. mahasiswa serta undangan pada Minggu, (26 Oktober 2025)
Hasrul Chaniago, Keynote Speaker, Tokoh, Sejarawan, wartawan senior mengatakan, Muhammad Yamin memiliki peran sentral dalam perumusan Sumpah Pemuda 1928 dan konsep negara kesatuan Republik Indonesia, khususnya terkait bahasa nasional.
Berbeda dengan kasus India di tahun 2022 di mana pendirinya melupakan penetapan bahasa nasional (sehingga bahasa Tamil terabaikan dan bahasa Inggris menjadi bahasa resmi).
Hasrul Chaniago, Pemuda Indonesia pada 1928 telah memiliki visi yang jelas. Yamin, meskipun Bahasa Jawa idealnya menjadi bahasa nasional karena demografi, berjuang mengusulkan Bahasa Melayu yang kemudian di Kongres III ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia, yang lahir melalui dialog kebangsaan yang mendalam.
AB. Sarca Putra, akademisi mengatakan, Semangat persatuan dan kesatuan adalah pesan abadi yang disampaikan dari masa ke masa.
AB. Sarca Putra, memahami media adalah kunci komunikasi antar-generasi (lisan, cetak, telegraf, film/radio, hingga digital).
Generasi kini, yang lahir dengan semangat kebebasan informasi, menghadapi tantangan baru di mana informasi dirancang seperti “makanan ringan” dan kebenaran sulit dijaga.
Media digital, yang belum sepenuhnya dipahami, mengubah kita dari teknophobia menjadi teknofilia, di mana berita kini bersifat gratis dan muncul secara sepotong-sepotong (news find me).
Adriana, Aktifis Perempuan menyatakan,Transformasi Semangat Sumpah Pemuda dan Isu Perempuan, bahwa semangat Sumpah Pemuda relevan dalam transformasi dan peningkatan peran Perempuan Minangkabau dalam pembangunan nasional.
Penting untuk membayangkan perbedaan (gender, bahasa, generasi) dalam masyarakat Indonesia dan memastikan semua bebas dari kekerasan, terutama pengalaman kekerasan yang banyak dialami perempuan.
Sejarah dan nilai-nilai lama (seperti peran sosial perempuan di masa lalu) memberikan spirit perjuangan.
Sumpah Pemuda juga menginspirasi Kongres Perempuan 1928 yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Tantangan dan Partisipasi Perempuan di Era Digital.
Adriana menyatakan, Dunia digital menjadi arena penjajahan jenis baru yang merambah ranah privat, dengan peningkatan kekerasan seksual dan perendahan terhadap perempuan.
Dalam konteks pembangunan, meskipun ada upaya pemberdayaan, partisipasi politik perempuan masih rendah, terbukti dari data di DPR RI dan DPD.
Kasus Sumatera Barat menyoroti bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tidak berbanding lurus dengan kesadaran politik. Oleh karena itu, penting untuk memanfaatkan media digital dengan baik untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat dan relevan.
Ahmad Hafidz, Creative Media menyatakan, yang dikenal melalui inisiatif Nagari Creative Hub, memandang kebahagiaan sebagai penerimaan takdir sebagai bangsa Indonesia, dengan identitas Minangkabau dan Indonesia yang harus dipertahankan di tengah arus globalisasi.
Media seperti FB, IG, dan TikTok tidak lagi sekadar media sosial, melainkan platform informasi yang menuntut konten kreator memiliki literasi, kemampuan membaca, dan menulis yang tinggi untuk memproduksi skrip berkualitas.
Ahmad Hafidz, Creative Media menyatakan, Dalam era digitalisasi, penting untuk membangun Sumber Daya Manusia yang unggul. Ahmad Hafidz juga menilai bahwa Kecerdasan Buatan (AI) adalah cermin yang menampilkan diri kita.
Ia menekankan bahwa jika dahulu Indonesia dihadirkan dan diikrarkan, kini Indonesia dipertahankan melalui karya, yang menawarkan peluang besar bagi generasi muda.
Generasi Z harus dilihat sebagai bagian konstruktif dari masyarakat Indonesia, bukan hanya sebagai objek penelitian atau pasar semata.
Fatriz MF, Penulis menyatakan bahwa kejayaan Minangkabau cenderung merujuk pada masa lalu yang agung.
Ia mempertanyakan sejauh mana masyarakat kecil di pedalaman (Kalimantan, Riau, Papua, Sulawesi) memahami nasionalisme dan “Keindonesiaan”. Menurutnya, rasa hormat yang tinggi di antara mereka mungkin berasal dari pengalaman bersama didera, ditekan, dan menderita dalam upaya mengusir penjajah.
Poin terakhirnya Bukittinggi sebagai kota perjuangan tersebut kini lebih difokuskan pada keindahan alamnya (Ngarai Sianok, mooi indie). Ia berpendapat bahwa kecantikan telah menutupi realitas yang sebenarnya, dan hal ini sebagian disebabkan oleh peran para kreator konten.
Dalam diskusi menyimpulkan bahwa modal utama kejayaan dan eksistensi bangsa adalah Sumpah Pemuda dan Pancasila. Kejayaan Minangkabau masa lalu dikaitkan dengan basis atau landasan yang kuat.
Teknologi (IT) disamakan dengan pedang, di mana kekuatannya bergantung pada landasan atau basis yang menggunakannya.
Hal ini menegaskan kembali bahwa nilai-nilai dasar dan semangat kebangsaan, seperti yang terangkum dalam Sumpah Pemuda, adalah fondasi penting untuk pembangunan dan kemajuan bangsa.
(FK/YamanLBS)
