MahesaMediaCenter, Surabaya – Pelabuhan merupakan sarana dan fasilitas serta gerbang utama arus barang bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa. Namun akhir-akhir ini pemerintah terkesan selalu membuat aturan atau regulasi yang tidak berpihak kepada masyarakat maritim sehingga sering menimbulkan kegaduhan di kalangan para pelaku bisnis di pelabuhan.
Akibatnya, sejumlah asosiasi yang tergabung Asosiasi Kepelabuhanan sepakat menyurati Presiden untuk menolak revisi Rancangan Undang Undang 11/2008 dengan turunannya Permenhub nomor 121/ 2018 tentang perubahan tarif bongkar muat dan jasa kepelabuhanan. Dimana jika hal ini diberlakukan dikuatirkan para BUP bertindak sepihak dengan menaikkan tarif semaunya tanpa melakukakan koordinasi dengan Asosiasi kepelabuhanan maupun dengan para pengguna jasa.
Lima asosiasi pelabuhan se Indonesia yang menolak revisi RUU 11/2008 dengan turunannya Permenhub nomor 131/2018 tentang perubahan tarif bongkar muat dan jasa kepelabuhanan antara lain Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Organisasi Angkutan Darat (Organda), Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) , dan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GPEI)
Ketua Forum Asosiasi Kepelabuhanan yang juga Ketua Indonesia National Shipowners Association (INSA) Surabaya, Stenven H. Lesawengen kepada awak media menegaskan bahwa UU 17 tahun 2008 sebagai turunan yaitu Peraturan yang ada di 121/2018 tersebut sudah benar dan ketika akan menaikkan tarif seyogianya harus melibatkan asosiasi kepelabuhanan sehingga terjalin kerjasama dan kolaborasi yang benar.
Kemudian muncul upaya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang berusaha menghilangkan kolaborasi dan pola kerja gotong royong, dengan demikian Badan usaha Pelabuhan (BUP) bisa menentukan tarif seenaknya sehingga akan berdampak pada tingginya biaya logistik.
“Ini jelas kontra produktif dan harus disikapi dengan menolak revisi sebelum mendapat persetujuan,” tegas Stenven
Pada saat ini ada gerakan yang bersifat massif yang bertujuan menghilangkan keterlibatan asosiasi, dimana bila pasal dihilangkan maka kenaikan tarif di pelabuhan menjadi tidak terkontrol dan BUP dapat menaikkan tanpa melibatkan asosiasi.
“Kita sudah berkirim surat kepada Presiden serta tembusan ke Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN dan yakin Presiden akan mengerti apa yang kita rasakan karena ini menyangkut para pelaku usaha,” ungkapnya.
Terkait sistem pelayanan digitalisasi Inaport, Stenvent mengatakan, hal tersebut didesain oleh Pemerintah untuk memperlancar sistem pelayanan dengan tidak perlu bertatap muka atau face to face antar regulator dengan pelaku usaha untuk menunjukkan integritas dalam memberikan pelayanan.
“Jika sistem pelayanan Inaport dilanggar saat melayani, berarti Pemerintah tentunya harus merombak petugas maupun pejabatnya sebagai sanksi administrasi,” pungkasnya.
Disadari atau tidak, sistem pelayanan Inaport di pelabuhan yang ada selama ini masih banyak mengalami kendala dan tidak seperti yang diharapkan dan harus dilakukan evaluasi kembali. (dw)